Organisasi sebagai suatu sistem terdiri dari komponen-komponen (subsistem) yang saling berkaitan atau saling tergantung (inter dependence) satu sama lain dan dalam proses kerja sama untuk mencapai tujuan tertentu (Kast dan Rosenzweigh, 1974). Sub-subsistem yang saling tergantung itu adalah tujuan dan nilai-nilai (goals and values subsystem), teknikal (technical subsystem), manajerial (managerialsubsystem), psikososial (psychosocial subsystem), dan subsistem struktur (structural subsystem).
Dalam proses interaksi antara suatu subsistem dengan
subsistem lainnya tidak ada jaminan akan selalu terjadi kesesuaian atau
kecocokan antara individu pelaksananya. Setiap saat ketegangan dapat saja
muncul, baik antar individu maupun antar kelompok dalam organisasi. Banyak
faktor yang melatar belakangi munculnya ketidakcocokan atau ketegangan, antara
lain sifat-sifat pribadi yang berbeda, perbedaan kepentingan, komunikasi yang
“buruk”, perbedaan nilai, dan sebagainya. Perbedaan-perbedaan inilah yang
akhirnya membawa organisasi ke dalam suasana konflik.
Agar organisasi dapat tampil efektif, maka individu dan
kelompok yang saling tergantung itu harus menciptakan hubungan kerja yang
saling mendukung satu sama lain, menuju pencapaian tujuan organisasi. Namun,
sabagaimana dikatakan oleh Gibson, et
al. (1997:437), selain dapat menciptakan kerjasama, hubungan saling
tergantung dapat pula melahirkan konflik. Hal ini terjadi jika masing-masing
komponen organisasi memiliki kepentingan atau tujuan sendiri-sendiri dan tidak
saling bekerjasama satu sama lain.
Sebuah organisasi tidak akan berjalan dengan baik kalau
didalamnya tidak ada pemimpin sebagai orang yang bertanggung jawab atas
organisasi tersebut, dan pemimpin itu tidak akan maksimal dalam melaksanakan
tugasnya tampa adanya bawahan (karyawan) yang selalu berintraksi dan
membantunya. Adanya pemimpin dan bawahan (karyawan) tersebut adalah suatu bukti
bahwa organisasi dan struktur saling berkaitan. Oleh karena itu, istilah
struktur digunakan dalam artian yang mencakup: ukuran (organisasi), derajat
spesialisasi yang diberikan kepada anggota kepada organisasi, kejelasan
jurisdiksi (wilayah kerja), kecocokan antara tujuan anggota dengan tujuan
organisasi, gaya kepemimpinan, dan sistem imbalan. Dan sebagai tolak ukur,
dalam penelitian menunjukkan bahwa ukuran organisasi dan derajat spesialisasi
merupakan variabel yang mendorong terjadinya konflik struktur. Makin besar
organisasi, dan makin terspesialisasi kegiatannya, maka semakin besar pula
kemungkinan terjadinya konflik.
Jadi, konflik adalah suatu proses interaksi yang terjadi
akibat adanya ketidak sesuaian atau perbedaan antara dua pendapat (sudut
pandang), baik itu terjadi dalam ukuran (organisasi), derajat spesialisasi yang
diberikan kepada anggota keorganisasi, kejelasan jurisdiksi (wilayah kerja),
kecocokan antara tujuan anggota dengan tujuan organisasi, gaya kepemimpinan,
dan sistem imbalan yang berpengaruh atas pihak-pihak yang terlibat, baik
pengaruh positif maupun pengaruh negatif . Namun secara umum Konflik Hirarki
(Sruktur) adalah konflik yang terjadi diberbagai tingkatan organisasi.
Konflik dapat menyebabkan orang memperhatikan
bidang-bidang problem pada sebuah organisasi, dan hal tersebut dapat
menyebabkan dicapainya tujuan orgnisatoris secara efektif. Akan tetapi, apabila
suatu organisasi dengan kaku menolak adanya perubahan, maka situasi konflik
yang terjadi, tidak akan reda. Tensi akan makin meningkat “suhunya” dan setiap
dan konflik yang baru yang terjadi akan makin menceraiberaikan sub unit-sub
unit organisasi yang bersangkutan.
Pada umumnya dapat dikatakan bahwa makin kaku struktur
dan kultur organisasi yang bersangkutan, maka makin tidak menguntungkan konflik
yang terjadi. Dan dalam sesuatu konflik, komonikasi antara subunit-subunit
dapat menyusut, hingga dengan demikian masing-masing sub unit tidak dapat
membuat keputusan-keputusan yang sehat.
Pembahasan
A. Pengetian Konflik
Apa yang dimaksud dengan
konflik? Konflik bisa berarti macam-macam. Menurut Webster, konflik adalah fight, battle atau struggle. Konflik bisa juga berarti ketidaksepakatan. Selain itu
konflik juga bermakna perbedaan kepentingan atau ketidaksesuaian antara pihak
yang terlibat. Konflik terdiri dari 4 jenis, yaitu:
1. 1Intrapersonal conflict, yaitu konflik yang terjadi dalam diri sendiri. Konflik dapat berupa emosi
maupun nilai-nilai dalam kehidupan. Misalnya ketika Anda bimbang dalam memiih
antara berkata jujur atau berbohong.
2. Interpersonal conflict, yaitu konflik yang terjadi dengan orang lain. Misalnya dalam hubungan
antara suami dan istri.
3. Intragroup conflict, yaitu konflik yang terjadi dalam suatu kelompok. Misalnya perbedaan
pendapat yang terjadi dalam suatu grup /organisasi
4. Intergroup conflict, yaitu konflik yang terjadi antar kelompok. Misalnya antara manajemen dan
serikat pekerja.
Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti
saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses
sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak
berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak
berdaya.
Tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami
konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya
akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.
B. Jenis Konflik
Terdapat berbagai macam jenis konflik, tergantung pada
dasar yang digunakan untuk membuat klasifikasi. Ada yang membagi konflik atas
dasar fungsinya, ada pembagian atas dasar pihak-pihak yang terlibat dalam
konflik, dan sebagainya.
1. Konflik Dilihat dari Fungsi
Berdasarkan fungsinya, Robbins (1996:430) membagi konflik
menjadi dua macam, yaitu: konflik fungsional (Functional Conflict) dan konflik
disfungsional (Dysfunctional Conflict). Konflik fungsional adalah konflik yang
mendukung pencapaian tujuan kelompok, dan memperbaiki kinerja kelompok,
sedangkan konflik disfungsional adalah konflik yang merintangi pencapaian
tujuan kelompok.
Menurut Robbins, batas yang menentukan apakah suatu konflik
fungsional atau disfungsional sering tidak tegas (kabur). Suatu konflik mungkin
fungsional bagi suatu kelompok, tetapi tidak fungsional bagi kelompok yang
lain. Begitu pula, konflik dapat fungsional pada waktu tertentu, tetapi tidak
fungsional di waktu yang lain. Kriteria yang membedakan apakah suatu konflik
fungsional atau disfungsional adalah dampak konflik tersebut terhadap kinerja
kelompok, bukan pada kinerja individu. Jika konflik tersebut dapat meningkatkan
kinerja kelompok, walaupun kurang memuaskan bagi individu, maka konflik
tersebut dikatakan fungsional. Demikian sebaliknya, jika konflik tersebut hanya
memuaskan individu saja, tetapi menurunkan kinerja kelompok maka konflik
tersebut disfungsional.
2. Konflik Dilihat dari Pihak yang Terlibat di Dalamnya
Berdasarkan pihak-pihak yang terlibat di dalam konflik,
Stoner dan Freeman (1989:393) membagi konflik menjadi enam macam, yaitu:
a. Konflik dalam diri individu (conflict within the individual).
Konflik ini terjadi jika seseorang harus memilih tujuan yang saling
bertentangan, atau karena tuntutan tugas yang melebihi batas kemampuannya.
b. Konflik antar-individu (conflict among individuals). Terjadi karena
perbedaan kepribadian (personality
differences) antara individu yang satu dengan individu yang lain.
c. Konflik antara individu dan kelompok (conflict among individuals and groups).
Terjadi jika individu gagal menyesuaikan diri dengan norma-norma kelompok
tempat ia bekerja.
d. Konflik antar kelompok dalam organisasi yang sama (conflict among groups in the same
organization). Konflik ini terjadi karena masing-masing kelompok
memiliki tujuan yang berbeda dan masing-masing berupaya untuk mencapainya.
e. Konflik antar organisasi (conflict among organizations). Konflik ini
terjadi jika tindakan yang dilakukan oleh organisasi menimbulkan dampak negatif
bagi organisasi lainnya. Misalnya, dalam perebutan sumberdaya yang sama.
f. Konflik antar individu dalam organisasi yang berbeda (conflict among individuals in
different organizations). Konflik ini terjadi sebagai akibat sikap
atau perilaku dari anggota suatu organisasi yang berdampak negatif bagi anggota
organisasi yang lain. Misalnya, seorang manajer public relations yang
menyatakan keberatan atas pemberitaan yang dilansir seorang jurnalis.
3. Konflik Dilihat dari Posisi Seseorang dalam Struktur
Organisasi
Winardi (1992:174) membagi konflik menjadi empat macam,
dilihat dari posisi seseorang dalam struktur organisasi. Keempat jenis konflik
tersebut adalah sebagai berikut:
a. Konflik vertikal, yaitu konflik yang terjadi antara
karyawan yang memiliki kedudukan yang tidak sama dalam organisasi. Misalnya,
antara atasan dan bawahan.
b. Konflik horizontal, yaitu konflik yang terjandi antara
mereka yang memiliki kedudukan yang sama atau setingkat dalam organisasi.
Misalnya, konflik antar karyawan, atau antar departemen yang setingkat.
c. Konflik garis-staf, yaitu konflik yang terjadi antara
karyawan lini yang biasanya memegang posisi komando, dengan pejabat staf yang
biasanya berfungsi sebagai penasehat dalam organisasi.
d. Konflik peran, yaitu konflik yang terjadi karena
seseorang mengemban lebih dari satu peran yang saling bertentangan. Di samping
klasifikasi tersebut di atas, ada juga klasifikasi lain, misalnya yang
dikemukakan oleh Schermerhorn, et al. (1982), yang membagi konflik atas: substantive conflict, emotional
conflict, constructive conflict, dan destructive conflict.
C. Penyebab Konflik
Menurut Robbins (1996), konflik muncul karena ada kondisi
yang melatarbelakanginya (antecedent
conditions). Kondisi tersebut, yang disebut juga sebagai sumber
terjadinya konflik, terdiri dari tiga ketegori, yaitu: komunikasi, struktur,
dan variabel pribadi.
Komunikasi. Komunikasi yang
buruk, dalam arti komunikasi yang menimbulkan kesalahpahaman antara pihak-pihak
yang terlibat, dapat menjadi sumber konflik. Suatu hasil penelitian menunjukkan
bahwa kesulitan semantik, pertukaran informasi yang tidak cukup, dan gangguan
dalam saluran komunikasi merupakan penghalang terhadap komunikasi dan menjadi
kondisi anteseden untuk terciptanya konflik.
Struktur. Istilah struktur dalam
konteks ini digunakan dalam artian yang mencakup: ukuran (kelompok), derajat
spesialisasi yang diberikan kepada anggota kelompok, kejelasan jurisdiksi
(wilayah kerja), kecocokan antara tujuan anggota dengan tujuan kelompok, gaya
kepemimpinan, sistem imbalan, dan derajat ketergantungan antara kelompok.
Penelitian menunjukkan bahwa ukuran kelompok dan derajat spesialisasi merupakan
variabel yang mendorong terjadinya konflik. Makin besar kelompok, dan makin
terspesialisasi kegiatannya, maka semakin besar pula kemungkinan terjadinya
konflik.
Penyebab konflik lainnya yang potensial adalah faktor
pribadi, yang meliputi: sistem nilai yang dimiliki tiap-tiap individu,
karakteristik kepribadian yang menyebabkan individu memiliki keunikan (idiosyncrasies) dan
berbeda dengan individu yang lain. Kenyataan menunjukkan bahwa tipe kepribadian
tertentu, misalnya, individu yang sangat otoriter, dogmatik, dan menghargai
rendah orang lain, merupakan sumber konflik yang potensial.
Jika salah satu dari kondisi tersebut terjadi dalam
kelompok, dan para karyawan menyadari akan hal tersebut, maka muncullah
persepsi bahwa di dalam kelompok terjadi konflik. Keadaan ini disebut dengan
konflik yang dipersepsikan (perceived
conflict). Kemudian jika individu terlibat secara emosional, dan
mereka merasa cemas, tegang, frustrasi, atau muncul sikap bermusuhan, maka
konflik berubah menjadi konflik yang dirasakan (felt conflict). Selanjutnya,
konflik yang telah disadari dan dirasakan keberadaannya itu akan berubah
menjadi konflik yang nyata, jika pihak-pihak yang terlibat mewujudkannya dalam
bentuk perilaku. Misalnya, serangan secara verbal, ancaman terhadap pihak lain,
serangan fisik, huru-hara, pemogokan, dan sebagainya
D. Manajemen Konflik
dalam Organisasi Sosial dan Penyelesaiannya
Dalam proses interaksi antara suatu sub sistem dengan sub
sistem lainnya tidak ada jaminan akan selalu terjadi kesesuaian atau kecocokan
antara individu pelaksananya. Setiap saat ketegangan dapat saja muncul, baik
antar individu maupun antar kelompok dalam organisasi. Banyak faktor yang
melatarbelakangi munculnya ketidakcocokan atau ketegangan, antara lain:
sifat-sifat pribadi yang berbeda, perbedaan kepentingan, komunikasi yang
“buruk”, perbedaan nilai, dan sebagainya. Perbedaan-perbedaan inilah yang
akhirnya membawa organisasi ke dalam suasana konflik. Agar organisasi dapat
tampil efektif, maka individu dan kelompok yang saling tergantung itu harus
menciptakan hubungan kerja yang saling mendukung satu sama lain, menuju
pencapaian tujuan organisasi.
Namun, sebagaimana dikatakan oleh Gibson, et.al. (1997:437), selain
dapat menciptakan kerjasama, hubungan saling tergantung dapat pula melahirkan
konflik. Hal ini terjadi jika masing-masing komponen organisasi memiliki
kepentingan atau tujuan sendiri-sendiri dan tidak saling bekerjasama satu sama
lain. Konflik dapat menjadi masalah yang serius dalam setiap organisasi, tanpa
peduli apapun bentuk dan tingkat kompleksitas organisasi tersebut. Konflik
tersebut mungkin tidak membawa “kamatian” bagi organisasi, tetapi pasti dapat
menurunkan kinerja organisasi yang bersangkutan, jika konflik tersebut
dibiarkan berlarut-larut tanpa penyelesaian. Karena itu keahlian untuk
mengelola konflik sangat diperlukan bagi setiap pimpinan atau manajer
organisasi.
Konflik merupakan bagian integral dari kehidupan manusia.
Secara personal kita mengalami konflik dalam rumah tangga. Dalam hubungan yang
luas, konflik terjadi dalam hubungan sosial, ekonomi, dan politik, seperti
tawuran pelajar, konflik industri dan agraria, konflik etnis dan sektarian,
hingga konflik antar negara.
Jika dikelola, konflik sebenarnya memiliki nilai positif
bagi interaksi manusia. Masalahnya pengetahuan dan ketrampilan yang memadai
untuk mengelola konflik sering tidak dimiliki oleh mereka yang terlibat konflik
ataupun yang menangani konflik. Akibatnya konflik tidak hanya tidak berhasil
dikelola, dalam banyak kasus bahkan memperparah konflik yang terjadi.
Konflik di sini tidak selamanya harus dimaknai permusuhan
atau pertikaian, karena dalam kajian sosiologis, konflik itu juga bisa bermakna
kompetisi, tegangan (tension) atau sekadar ketidaksepahaman. Itu pula sebabnya,
kehadiran konflik itu tidak selamanya harus dimaknai sebagai sebuah kekuatan
yang menghancurkan – a necessarily
destructif force, karena dalam banyak hal konflik itu juga bernilai
positif, bahkan konstruktif, dan karenanya fungsional.
Persisnya, dengan konflik dinamika lahir, dengan konflik
kreativitas muncul. Bahkan menurut pakar sosiologi, konflik asal Jerman, George
Mills, konflik adalah penggerak sejarah sekaligus sumber perubahan, dan
karenanya, konflik akan besar sumbangannya dalam mencegah kebekuan sosial. The changes caused by conflict prevent
society from stagnating, tegas Mills (1956).
D. Mengelola Konflik
dalam Membangun Kerjasama Tim
Untuk meminimalkan terjadinya konflik maka perlu adanya
manajemen konflik, yaitu mengelola konflik yang akan terjadi. Mengelola konflik
di sini tidak berarti kita harus menghindari konflik, apalagi menguburnya, karena
bagaimanapun konflik memang harus ada. Menekan konflik sering menimbulkan
lahirnya sebuah kebijakan yang prematur. Menekan konflik juga cenderung
mengundang hadirnya kesalahpahaman yang tidak mewakili kepentingan siapa pun.
Bahkan menurut penulis buku “Social
Conflict” itu, tanpa konflik, keadilan sulit bisa diwujudkan.
Karenanya, mengubur konflik akan sama artinya dengan menyimpan bom sosial yang
siap meledak kapan saja ketika ada kesempatan yang memicunya.
Namun sebaliknya, mengelola konflik itu juga tidak
berarti harus membiarkan apalagi menumbuhsuburkan konflik. Mengelola konflik di
sini berarti cerdas memilih dan menentukan strategi pengelolaannya. Dalam
bukunya yang berjudul “Social
Conflict” (1986), Rubin dan Pruitt mengajukan beberapa strategi dasar
yang bisa digunakan dalam pengelolaan konflik sosial yang sifatnya sangat alami
itu.
Pertama, adalah strategi yang disebut dengan contending atau bertanding. Intinya,
masing-masing pihak yang akan berebut kepentingan bisa melakukan segala upaya
untuk menjadi pemenang tanpa harus memperhatikan kepentingan pihak lain yang
menjadi lawan politiknya, bahkan berusaha agar pihak lain menyerah atau
mengalah. Bentuknya pun sangat beragam. Bisa dengan membuat janji, ancaman,
atau bahkan hukuman. Bahkan bisa pula dilakukan dengan ditunjukkan hanya dengan
cara membuat argumentasi persuasif kalau bukan dengan cara sebaliknya, ngotot
dengan pendirian sepihaknya. Tentu dengan segala dampak sosial yang bakal
ditimbulkannya.
Berbeda dengan yang pertama, maka strategi kedua
dilakukan dengan cara mencari alternatif cara yang seoptimal mungkin bisa
memuaskan masing-masing pihak yang akan berebut kepentingan. Itu sebabnya,
strategi ini disebut dengan cara problem
solving (pemecahan masalah). Intinya, strategi dasar ini menyarankan
agar masing-masing pihak yang terlibat konflik berusaha mempertahankan
aspirasinya, tetapi sekaligus menghormati akan kepentingan lawan politiknya.
Upaya kompromi, rekonsiliasi, adalah dua bentuk cara yang biasa digunakan dalam
strategi kedua ini.
Memang tidak mudah untuk mencari cara pemecahan yang bisa
memuaskan sepenuhnya semua pihak yang saling berebut kepentingan, lebih-lebih
dalam perebutan kekuasaan. Itu sebabnya, ada beberapa strategi dasar lain yang
lazim muncul dalam proses mengatasi konflik.
Yielding (sikap mengalah), withdrawing
(menarik diri), dan inaction
(aksi diam), adalah tiga alternatif strategi lain yang mesti dijadikan acuan
dalam menyelesaikan konflik. Dalam konteks itu, satu atau beberapa pihak yang
terlibat dalam perebutan kepentingan bersedia menurunkan aspirasinya, bahkan
jika perlu mundur menarik diri, atau sekadar tidak berbuat apa pun semata demi
menghindari konflik yang membahayakan karena sudah cenderung destruktif.
Menurut Kreitner dan Kinicki (1995) dalam mengelola
konflik ada 5 gaya antara lain:
a. Integrating
(Problem Solving). Dalam gaya ini pihak-pihak yang berkepentingan secara
bersama-sama mengidentifikasikan masalah yang dihadapi, kemudian mencari,
mempertimbangkan dan memilih solusi alternatif pemecahan masalah. Gaya ini
cocok untuk memecahkan isu-isu kompleks yang disebabkan oleh salah paham
(misunderstanding), tetapi tidak sesuai untuk memecahkan masalah yang terjadi
karena sistem nilai yang berbeda. Kelemahan utamanya adalah memerlukan waktu
yang lama dalam penyelesaian masalah.
b. Obliging
(Smoothing). seseorang yang bergaya obliging lebih memusatkan perhatian pada
upaya untuk memuaskan pihak lain daripada diri sendiri. Gaya ini sering pula
disebut smothing
(melicinkan), karena berupaya mengurangi perbedaan-perbedaan dan menekankan
pada persamaan atau kebersamaan di antara pihak-pihak yang terlibat. Kekuatan
strategi ini terletak pada upaya untuk mendorong terjadinya kerjasama.
Kelemahannya, penyelesaian bersifat sementara dan tidak menyentuh masalah pokok
yang ingin dipecahkan.
c.
Dominating (Forcing). Orientasi pada diri sendiri yang tinggi, dan
rendahnya kepedulian terhadap kepentingan orang lain, mendorong seseorang untuk
menggunakan taktik “saya
menang, kamu kalah”. Gaya ini sering disebut memaksa (forcing)
karena menggunakan legalitas formal dalam menyelesaikan masalah. Gaya ini cocok
digunakan jika cara-cara yang tidak populer hendak diterapkan dalam
penyelesaian masalah, masalah yang dipecahkan tidak terlalu penting, dan waktu
untuk mengambil keputusan sudah mepet. Tetapi tidak cocok untuk menangani
masalah yang menghendaki partisipasi dari mereka yang terlibat. Kekuatan utama
gaya ini terletak pada minimalnya waktu yang diperlukan. Kelemahannya, sering
menimbulkan kejengkelan atau rasa berat hati untuk menerima keputusan oleh
mereka yang terlibat.
d.
Avoiding. Taktik menghindar (avoiding) cocok digunakan untuk
menyelesaikan masalah yang sepele atau remeh, atau jika biaya yang harus
dikeluarkan untuk konfrontasi jauh lebih besar daripada keuntungan yang akan
diperoleh. Gaya ini tidak cocok untuk menyelesaikan masalah-malasah yang sulit
atau “buruk”. Kekuatan dari strategi penghindaran adalah jika kita menghadapi
situasi yang membingungkan atau mendua (ambiguous situations), sedangkan
kelemahannya, penyelesaian masalah hanya bersifat sementara dan tidak
menyelesaikan pokok masalah.
e.
Compromising. Gaya ini menempatkan seseorang pada posisi moderat,
yang secara seimbang memadukan antara kepentingan sendiri dan kepentingan orang
lain. Ini merupakan pendekatan saling memberi dan menerima (give-and-take approach)
dari pihak-pihak yang terlibat. Kompromi cocok digunakan untuk menangani
masalah yang melibatkan pihak-pihak yang memiliki tujuan berbeda tetapi
memiliki kekuatan yang sama. Misalnya, dalam negosiasi kontrak antara buruh dan
majikan. Kekuatan utama dari kompromi adalah pada prosesnya yang demokratis dan
tidak ada pihak yang merasa dikalahkan. Tetapi penyelesaian konflik kadang
bersifat sementara dan mencegah munculnya kreativitas dalam penyelesaian masalah.
Simpulan
Meningkatkan solidaritas sesama anggota kelompok (ingroup) yang mengalami
konflik dengan kelompok lain. keretakan hubungan antar kelompok yang bertikai.
perubahan kepribadian pada individu, misalnya timbulnya rasa dendam, benci,
saling curiga dan sebagainya. Kerusakan harta benda dan hilangnya jiwa manusia
dominasi bahkan penaklukan salah satu pihak yang terlibat dalam konflik.
Para pakar teori telah mengklaim bahwa pihak-pihak yang
berkonflik dapat menghasilkan respon terhadap konflik menurut sebuah skema
dua-dimensi; pengertian terhadap hasil tujuan kita dan pengertian terhadap
hasil tujuan pihak lainnya. Skema ini akan menghasilkan hipotesa sebagai
berikut:
1. Pengertian yang tinggi untuk hasil kedua belah pihak
akan menghasilkan percobaan untuk mencari jalan keluar yang terbaik.
2. Pengertian yang tinggi untuk hasil kita sendiri hanya
akan menghasilkan percobaan untuk “memenangkan” konflik.
3. Pengertian yang tinggi untuk hasil pihak lain hanya
akan menghasilkan percobaan yang memberikan “kemenangan” konflik bagi pihak
tersebut.
4. Tiada pengertian untuk kedua belah pihak akan
menghasilkan percobaan untuk menghindari konflik.
Disamping Itu, komunikasi merupakan inti dari interaksi
antar individu, dapat terjadi secara verbal, yaitu dengan kata-kata, maupun
non-verbal, yaitu dengan petunjuk. Petunjuk non-verbal dalam komunikasi terdiri
dari petunjuk visual dan petunjuk vokal. Petunjuk visual antara lain, ekspresi
wajah, kontak pandangan, posisi maupun gerakan tubuh, penampilan fisik
seseorang, dan sebagainya.
Seseorang dapat mengetahui tanggapan orang lain yang
diajak berkomunikasi, positif atau negatif, melalui ekspresi wajahnya.
Interaksi antara individu dengan individu lain pada dasarnya adalah sebuah
proses komunikasi, interaksi individu dengan ruang dan lingkungan hidupnya akan
menyangkut masalah psikologis karena berkaitan dengan kepribadian (personality).
Manusia mampu merubah lingkungan dan ruang kehidupannya
agar lebih sesuai dengan kondisi dirinya di waktu mendatang. Karenanya manusia menghadapi
lingkungan alamiah dan juga lingkungan buatannya sendiri. Proses psikologis
interaksi antara manusia dengan lingkungan dan ruang memperlihatkan suatu
proses yang sifatnya timbal balik.
Lingkungan menurut wawasan spasial dan temporal
memberikan stimulus yang mempengaruhi sistem kepribadian manusia di dalamnya
dan merupakan proses persepsi, motivasi, sistem kognisi dan kebiasaan tingkah
lakunya. Sesuai dengan tingkatan pengalaman serta orientasi nilai budaya yang
melatarbelakangi sistem kepribadiannya, manusia akan memberikan respons-respons
terhadap stimulus dari lingkungan tadi dalam bentuk tingkah laku atau tindakan,
yang akan memberikan pengaruh terhadap lingkungan tersebut.
Setiap kepribadian akan memberikan respons sebagai
tanggapan terhadap lingkungan spasial di sekelilingnya dalam tindakan atau
tingkah laku yang berbeda karena proses di dalam sistem kognisi, persepsi dan
motivasi dalam kepribadian tersebut juga mengandung perbedaan. Kemudian
ditambah lagi dengan orientasi nilai budaya serta pengalaman-pengalaman
dibelakangnya juga tidak sama. Karenanya masing-masing kepribadian atau
personalitas manusia akan memiliki tingkat penyesuaian diri dengan
lingkungannya berbeda, dan memperlihatkan adanya aspek-aspek yang unik pada
masing-masing individu. Respons terhadap lingkungan yang berbeda ditambah
dengan unsur-unsur dan latar belakang sosial pada masing-masing pribadi
kemudian juga akan memberikan makna individu sebagai ‘stimulus sosial’ bagi
lingkungannya.
Setiap konflik akan disertai ‘ketegangan’ emosional.
Perbedaan ketegangan tersebut dapat dicapai dengan menemukan suatu solusi
konflik. Maka suatu cara kita untuk mengelola konflik, tetap diperlukan
keinginan dari dalam diri kita untuk mengelolanya. Kedewasaan dan kecerdasan
mengelola emosi merupakan kunci mengelola konflik. Kata Daniel Goleman (1995),
kecerdasan emosi tidak lebih dari kemampuan seseorang untuk menguasai dan
mengendalikan emosi dirinya dan emosi orang lain, kecakapan mengelola diri
sendiri dan berhubungan dengan orang lain. Itu sebabnya, kecerdasan emosi
setidaknya mensyaratkan dua hal kecakapan pribadi dan kecakapan sosial. Ketika
kita bisa mengendalikan emosi kita maka kita mampu mengelola konflik dengan
baik untuk tujuan yang menguntungkan organisasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar